Rencana pembangunan smelter HPAL Indonesia telah di depan mata. Dikonfirmasi, sudah ada enam perusahaan yang berencana membangun smelter HPAL Indonesia. Dari keenam smelter HPAL Indonesia tersebut, kelima diantaranya beroperasi pada tahun 2021 mendatang.
Keenam perusahaan yang membangun HPAL tersebut adalah PT QMB, PT Huayue, PT Halmahera Persada Lygend, PT Adhikara Cipta Mulia, PT Smelter Nikel Indonesia, dan PT Vale Indonesia.
Mengapa sampai pada akhirnya Indonesia memberanikan diri untuk membangun smelter HPAL Indonesia? Hal ini dinyatakan oleh praktisi tambang dan smelter nikel, Arif S. Tiammar, bahwa peta persaingan produsen nikel dan smelter akan semakin dinamis sekaligus kondusif selama beberapa tahun ke depan. Perusahaan smelter akan semakin beragam, terutama didorong oleh pengembangan teknologi untuk menopang bahan baku baterai mobil listrik.
Dirinya menjelaskan, teknologi yang digunakan nantinya juga berkembang. Tidak hanya berjenis RKEF dan Blast Furnace yang berbasis pirometalurgi. Namun akan digunakan leaching plant (HPAL dan AL) yang berbasis hidrometalurgi.
“Selama ini RKEF dan BF hanya mengolah bijih nikel saprolit yang berkadar tinggi. Dalam waktu dekat, tidak tertutup kemungkinan ada RKEF atau BF akan mengolah bijih nikel kadar rendah (limonit),” katanya.
Pergeseran hasil produksi smelter pun juga akan semakin berkembang dan beralih untuk penggunaan ion lithium (LiB), tidak didominasi oleh stainless steel. Dalam waktu dekat, akan bermunculan pemain LiB di industri smelter serta leaching plant.
Saat ini, peta industri hilirisasi nikel hingga menjadi produk setengah jadi (intermediate product) dikuasai 50% oleh PT IMIP Morowali semenjak tahun 2018.
Secara keseluruhan, lebih dari 90% produk smelter Indonesia masih berupa produk berbasis NPI (Nickel Pig Iron). Diharapkan industri hilirisasi nikel semakin kompetitif dan menjanjikan, baik untuk pengembangan industri berbasis stainless steel maupun untuk industri baterai.
Berdasarkan jenis kemurniannya, nikel produksi Indonesia masih didominasi oleh nikel kelas dua yang menghasilkan NPI. Sedangkan porsi nikel kelas satu untuk menghasilkan nikel matte atau Mixed Hydroxide Precipitate (MHP) yang masih terhitung minim di Indonesia.
Sedangkan kebutuhan pasar global terhadap nikel masih didominasi untuk industri stainless steel sebesari 71%. Sedangkan untuk kebutuhan industri masih sedikit, seperti baterai kebutuhannya masih 3%.
Sumber: Berita Hidup