Jakarta, CNBC Indonesia – Bertubi-tubinya sanksi sejumlah negara Barat kepada Rusia turut berimbas pada kekhawatiran bakal terganjalnya pasokan nikel dari Rusia. Kondisi ini memicu investor dan industri yang telah menjual logam tersebut untuk membeli kembali kontraknya. Akibatnya, harga nikel pun melonjak “gila-gilaan”.
Harga nikel pada perdagangan Selasa (08/03/2022) siang hari melonjak 250% dalam dua hari berturut-turut mencapai US$ 101.350 per ton.
Lonjakan tidak normal ini membuat akhirnya London Metal Exchange (LME), bursa komoditas logam di London, Inggris, menangguhkan perdagangan nikel sejak Selasa (08/03/2022).
LME pun memperkirakan tidak akan melanjutkan perdagangan nikel sebelum 11 Maret 2022.
LME mengatakan dalam pemberitahuan terbarunya bahwa mereka perlu menetapkan “prosedur operasional untuk melakukan pembukaan kembali yang aman” dan menjajaki kemungkinan posisi beli dan jual “netting-off” sebelum pembukaan kembali perdagangan nikel. Proses ini diperkirakan tidak akan selesai sebelum 11 Maret.
Sebagai informasi, Rusia merupakan salah satu produsen nikel terbesar di dunia. Rusia adalah produsen nikel terbesar nomor 3 di dunia dengan proyeksi produksi 250.000 ton pada 2021, mengacu data US Geological Survey (USGS).
Jumlah ini setara dengan 9,25% produksi dunia. Cadangan nikel Rusia mencapai 7,5 juta ton. Ini merupakan cadangan nikel terbesar keempat dunia dengan porsi 7,9% dari total cadangan seluruh dunia.
Lantas, bagaimana nasib pengguna nikel Rusia nantinya? Bila pasokan nikel Rusia disetop, dari mana para konsumen nikel dunia ini mencari alternatif penggantinya?
Steven Brown, Konsultan Independen di Industri Pertambangan berbasis di Australia, mengatakan bahwa logam nikel yang diproduksi Rusia merupakan nikel kelas 1 dan Rusia merupakan pemasok nikel kelas 1 terbesar di dunia.
Adapun nikel kelas 1 yakni berupa nickel matte, nikel sulfat, Mixed Hydroxide Precipitate (MHP), maupun Mixed Sulphide Precipitate (MSP) yang kadar logamnya telah mencapai 99,9%. Produk nikel kelas 1 ini biasanya dijadikan bahan baku untuk baterai kendaraan listrik.
Menurutnya, pasokan nikel Rusia ini tak bisa digantikan oleh negara lain, kecuali Indonesia.
“Rusia adalah pemasok Class 1 Nickel paling besar di dunia. Negara lain tidak mungkin bisa menutup pasokan ini, kecuali Indonesia,” ungkapnya kepada CNBC Indonesia, dikutip Rabu (09/03/2022).
Dia beralasan, tahun ini produksi nickel matte dan MHP Indonesia diperkirakan akan meningkat, sehingga ini juga bisa mampu meredam lonjakan harga akibat kekhawatiran terbatasnya pasokan nikel dunia sebagai imbas tersendatnya pasokan nikel dari Rusia.
“Tahun ini Indonesia akan meningkatkan produksi nickel matte dan MHP, sehingga di akhir tahun ini harga nikel kemungkinan turun kembali,” ucapnya.
Dia menilai, harga nikel yang kemarin sempat menembus di atas US$ 100.000 per ton tersebut memang tidak lah normal. Dia pun memperkirakan lonjakan harga tersebut hanya terjadi sesaat.
Pada awal tahun, imbuhnya, harga nikel untuk tahun 2022 ini diperkirakan rata-rata di kisaran US$ 17.000 sampai US$ 23.000 per ton.
Indonesia disebut memiliki cadangan logam nikel terbesar di dunia yakni sebesar 72 juta ton Ni (nikel). Jumlah ini merupakan 52% dari total cadangan nikel dunia yang mencapai 139.419.000 ton Ni.
Data tersebut merupakan hasil olahan data dari USGS Januari 2020 dan Badan Geologi Kementerian ESDM 2019.
Sementara untuk bijih nikel, berdasarkan data Kementerian ESDM tahun 2020, total sumber daya bijih nikel mencapai 8,26 miliar ton dengan kadar 1%-2,5%, di mana kadar kurang dari 1,7% sebesar 4,33 miliar ton, dan kadar lebih dari 1,7% sebesar 3,93 miliar ton.
Produksi nickel matte Indonesia pada 2022 ini direncanakan mencapai 83,9 ribu ton, naik dari 82,3 ribu ton pada 2021 lalu, berdasarkan data Direktorat Jenderal Mineral dan Batu Bara Kementerian ESDM.
Sementara untuk MHP, Indonesia telah memiliki smelter nikel berteknologi High Pressure Acid Leaching (HPAL) untuk memproduksi MHP di Pulau Obi, Halmahera SELATAN, Maluku Utara, sejak 2021 lalu.
Smelter HPAL yang memproduksi MHP tersebut dioperasikan oleh PT Halmahera Persada Lygend, anak usaha Harita Group.
Smelter HPAL ini memiliki kapasitas produksi Mixed Hydroxide Precipitate (MHP) sebesar 365 ribu ton per tahun dan merupakan bahan baku dasar baterai kendaraan listrik.
Diresmikan oleh Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan, Rabu (23/06/2021), smelter HPAL ini menjadi pabrik bahan baku baterai kendaraan listrik pertama yang beroperasi di Indonesia. Proyek ini diperkirakan memakan biaya mencapai lebih dari US$ 1 miliar atau sekitar Rp 14,4 triliun (asumsi kurs Rp 14.400 per US$).
Selain itu, pada 2022 ini direncanakan ada tambahan smelter HPAL baru yang juga memproduksi MHP. Berlokasi di Banten, perusahaan yang mengoperasikan smelter MHP tersebut yaitu PT Smelter Nikel Indonesia. Pada akhir 2021 lalu progres pembangunan mencapai 98,7% dan ditargetkan mulai beroperasi pada 2022 ini. Ini artinya, akan ada tambahan produksi MHP dari Indonesia.
MHP yaitu campuran padatan hidroksida dari nikel dan cobalt. MHP merupakan produk antara dari proses pengolahan dan pemurnian nikel kadar rendah sebelum diproses lebih lanjut menjadi nikel sulfat dan kobalt sulfat. Saat ini Harita juga sedang mengembangkan fasilitas produksi lanjutan untuk menghasilkan nikel sulfat dan kobalt sulfat, yang merupakan material utama baterai kendaraan listrik.
Sumber: CNBC Indonesia